Senin, 07 Desember 2009

Nizar

underconstruction



Read More..

Senin, 24 November 2008

Kontroversi Iklan PKS

Read More..

Senin, 03 November 2008

Gairah Persatuan

Oleh: Fajar el Shahwah


LANGKAHNYA gontai. Hari-harinya menghabis dalam pedih-perih. Luka-lukanya menyayat kecewa, meninggalkan bekas-bekas pelepuh marah yang masih nganga. Rasa sakitnya ia simpan dalam diam yang memprihatinkan. Sungguh pikirannya sedang berkecamuk, hatinya sedemikian gelisah, jiwanya telah berontak, dan dadanya terasa begitu penuh sesak. Ia melangkah mencari sunyi. Ia mencoba kembali dalam perenungan, dalam pengasingan. Ia mencoba kembali mencari kejernihan telaga jiwanya, menemukan ketenangan kecipak air di hatinya, mengasah ketajaman firasatnya, kekuatan basyirahnya. Karena semua itu kini telah tiada, menghilang bersama deras arus sungai yang mengalir nun jauh di sana. Bersama hiruk-pikuk kehidupan yang menyesakkan.



Ia telah menyaksikan di rumah besar itu; wadah indah yang ia tumpangi saat ini sedang goyah. Ketegangan-ketegangan yang mengejutkan telah ia jumpai satu-persatu, persis di hadapannya. Sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya, bahkan jauh di luar kesadarannya. Keterkejutan itu, karena doktrin idealisme yang ia pahami telah terbantahkan secara tragis oleh perilaku empiris yang nyata ia saksikan, bahkan dipertontonkan secara langsung oleh mereka yang sebelumnya ia anggap orang-orang perkasa.
Para penghuni rumah besar itu, saat ini sedang mengalami guncangan konflik berkepanjangan, berkelarutan. Guncangan konflik itu seringkali terhijab rapat. Tapi terkadang riak-riak itu muncul ke permukaan, dan membuat keterkejutan-keterkejutan yang menegangkan, menggelisahkan, mengkhawatirkan. Ada cukup banyak variasi konflik itu. Dari sesuatu yang sangat remeh-temeh, sedemikian sederhana, hingga permasalahan-permasalahan yang cukup krusial, substansial, dan mempunyai nilai strategis. Mulai dari kecocokan sikap, perbedaan kepentingan, kekuatan pengaruh, pilihan-pilihan kebijakan, pun juga perbedaan pemikiran yang tidak saja berada pada ruang-ruang mutaghayyirat, tapi terkadang menyerempet wilayah-wilayah tsawabit, bahkan mungkin memasukinya.
Sementara sebenarnya; pada saat yang sama, semestinya penghuni rumah itu menyiapkan seluruh daya yang mereka punya untuk menyambut perhelatan akbar dalam kancah pesta besar yang telah di hadapan mereka. Perhelatan panjang yang telah menghabiskan umur generasi anak zaman sebelum mereka, juga generasi mereka, dan ujungnya mungkin akan selesai di jauh usia generasi setelah mereka. Karena sesungguhnya; usia perhelatan itu sama dengan usia kehidupan ini, usia peradaban ini.
Kumpulan perhelatan-perhelatan kecil telah dimulai dan berserakan di mana-mana, jauh sebelum saat ini. Ia bagaikan riak-riak yang pada saatnya mengelombang dahsyat, tapi pada saat yang lain meredup tak bertenaga. Dan penghuni rumah besar ini, sejak awalnya telah menjadi bagian riak-riak itu, telah mengikuti perhelatan-perhelatan kecil itu. Ketika dulu pada awalnya, mereka masih terlalu kecil. Tapi justru mereka begitu kokoh kuat, mereka begitu ditakuti. Waktu berjalan menambah usia kedewasaan fisik mereka. Waktu pula yang berjalan menambah sejumlah pengalaman dan interaksi mereka. Dan waktu jua yang pada akhirnya menyeleksi mereka.
Interaksi-interaksi dengan lingkungan luar yang liar itu telah menggilakan cara berpikir mereka, meliarkan cara bersikap mereka, dan meracuni perilaku mereka. Ada di antara mereka yang masih tetap kuat bertahan, bahkan memperkaya pengalamannya, menyempurnakan kekuatannya. Tapi ternyata begitu banyak di antara mereka yang terlena, lemah daya tahan dan ambruk sempoyongan sebelum sempat berhadap-hadapan dengan lawan.
Karena luaran yang liar itu telah memuntahkan racun ketertarikan, merusak wilayah pemikiran, menghancurkan sendi-sendi kekuatan, juga menggerogoti persatuan. Luaran liar itu telah melakukan serangan pada rumah besar itu tanpa sempat disadari oleh para penghuninya. Di luar kesadarannya, para penghuni rumah itu telah gagap beradaptasi terhadap perubahan-perubahan sikapnya, sehingga muncul silang sengketa, sehingga berdarah-darah pada akhirnya. Maka konflik itupun pecah memuntah. Bukan dengan para musuh nyata di perhelatan itu, tetapi justru dengan sesama penghuni rumah itu, di rumah besar itu. Dan tiba-tiba semua bisa menjadi picu, yang menyulut api konflik berkepanjangan, berkelarutan.
Itulah sebab langkahnya gontai. Itulah alasan hatinya resah, dalam paduan warna perasaan yang tiada lagi punya warna. Karena sesungguhnya, ia rindu akan semua kebaikan nilai yang dihasung para penghuni rumah itu ketika dulu, ia rindu akan kenyataan indah yang sempat ia rasakan bersama-sama penghuni rumah itu ketika dulu. Ia rindu akan kekuatan besar yang berwibawa itu, ia rindu akan kelembutan ukhuwah yang mempersaudarakan itu, ia rindu akan kedahsyatan iman yang menggelorakan itu. Sesuatu yang kini seolah lenyap tak berantah.
Itulah sebab langkahnya mencari sunyi. Mencoba kembali dalam perenungan, dalam pengasingan. Dan ia telah menemukan. Ia telah kembali. Ia telah merasakan tetes embun pagi kegairahan. Ia tahu jawabannya. Bahwa benar rumah besar itu, saat ini dalam keremangan, bahkan menuju kegelapan. Tapi ia sadar, bukan tempatnya ia mencela kegelapan. Yang harus dilakukan adalah menyalakan kembali obor yang menerangi. Karena keremangan itu, karena kegelapan itu, telah menjadi sebab mereka tiada saling mengenali. Maka ia harus segera menyalakan obor kegairahan yang menerangi, dan mereka harus menghidupkan cahaya persatuan yang mengkonsolidasikan. Maka, gairah persatuan itu harus segera digemakan.
Karena itulah letak kekuatan yang membanggakan.::

Read More..

Senin, 25 Agustus 2008

Untuk Qiyadah dan Para Jundinya

”Akh, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murobbi setelah sesaat termenung. "Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja." Jawab mad'u itu.
Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. "Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" Tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. "Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Sang murobbi mencoba memberi opsi. "Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" Serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u. Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. "Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah? Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murobbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. ana sadar... Maafkan ana… Ana akan tetap istiqomah insyaallah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…" Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u berazzam di hadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.
Sang murobbi tersenyum. "Akhi, jamaah ini adalah jamaah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah. Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah Ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka. Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah. Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" "Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah tausyiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isyu atau gosip tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya." Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya.::

Read More..

Kamis, 20 September 2007

Keterbatasan

Oleh: Fajar el Shahwah

Inilah komunitas manusia; yang mengelompok bukan karena mereka sama-sama dari satu garis keluarga, bukan karena mereka hidup dan besar dalam satu tempat yang sama, bukan karena mereka mempunyai kesamaan jenis pekerjaan, atau kebiasaan, atau apapun. Tapi komunitas itu mengelompok secara sadar karena kepentingan yang sama. Satu tujuan, satu garis perjuangan. Maka semua orang dalam komunitas itu menyatu padu, bekerja bersama, membahu badan, menyapih bumi, menjulang langit. Maka mewujudlah komunitas itu menjalani takdir sejarahnya. Dari kecil tak terlihat semula, sekarang tak tertampung oleh wadah-wadah besar negara. Bahkan pemikiran-pemikirannya berkembang mengangkasa, melampaui usia jaman pertumbuhan normalnya.

Namun perlu dicatat; bahwa komunitas itu adalah kelompok manusia biasa. Sama sekali manusia dengan seluruh sifat kemanusiaan yang melekatinya. Jika malaikat terhindarkan dari kesalahan, penuh nafas ketaatan, selalu tunduk dalam wilayah kebaikan; maka itulah faktanya. Tapi disebut manusia, lebih karena ia harus melakoni karakter kemanusiaannya. Ia tempat salah dan lupa, ia tempat lemah dan putus asa, mengeluh dan sejenisnya. Jika individu manusia dibalut segala kekhasan kemanusiaannya, maka komunitas manusia; tentu hanya mengumpulkan balutan kekhasan kemanusiaan individu-individunya. Mungkin, komunitas akan lebih mampu menjaganya, membuat perisai stabilitas untuk mengontrol tindakan-tindakannya, memperbanyak sifat-sifat malaikat terejawantahkan dalam aksi-aksinya. Tapi, tetap saja mereka adalah manusia yang tidak akan mampu menghilangkan karakter dan watak aslinya.

Read More..

Senin, 03 September 2007

Semangat Perjuangan

Derap langkah berirama menggema
Guncangkan aral yang melintangi asa
Takkan gentar
Apapun di hadapan
Pasti segera tersingkirkan...




Read More..

Senin, 06 Agustus 2007

Aina Anta Ya Jundullah...

Refleksi

Oleh: Fajar el-Shahwah


KETIKA majelis-majelis ilmu itu telah digelar; yang memuasi dahaga pengetahuan, yang mengobati luka kebodohan, tempat para jundi difasilitasi untuk menyegarkan fikrahnya, menggairahkan tsaqafahnya, menggelorakan keteladanannya; maka aina anta ya jundullah? Kami tak menjumpaimu di sana. Dalam hiruk pikuk madrasah ilmu, dalam terbata mereka mengeja, mereka belajar. Kami tak menjumpaimu di sana. Dimanakah engkau saat itu?

Tapi ketika engkau berargumentasi; engkau mengatakan bahwa ada amanah dakwah yang sedang engkau kerjakan, dan amanah itu jauh lebih penting untuk diprioritaskan. Atau bahwa menurutmu, majelis-majelis itu tidak serius dikelola, sehingga ia bisa memuasimu akan dahaga ilmu yang tak tertahan. Engkau menemukan celah catat yang berserak. Para asatidz yang terlalu sibuk dengan agendanya, para pengurus yang tidak becus manajemennya, kurikulum yang tidak jelas arah tujuannya, atau berserak kurang lainnya yang; ada saja! Mungkin benar semua yang engkau katakan; bahwa keterbatasan kemanusiaan kami menjadi penyebab semua kerugian yang akhirnya engkau rasakan. Untuk semua kelemahan itu, kami mohon maaf. Kami akan coba memperbaiki diri, mengevaluasi kekurangan, juga menyempurnakan celah cacat yang berserak itu. Tapi sungguh kami gelisah; karena kami belum benar-benar tahu, dimanakah engkau saat itu…

Ketika konsolidasi kekuatan, koordinasi sejumlah program, sekaligus pembekalan-pembekalan pengokoh fikrah dan pematang qalbu digelar, aina anta ya jundullah? Forum itu sungguh signifikan berperan bagi penguasaan masalah, penajaman analisa, hingga penemuan solusi cerdas kita, pendewasaan sikap dan mental kita, penguat basis pemikiran dan penemuan strategi cemerlang kita, pengokoh basyirah sekaligus pembening hati kita, bahkan pembakar gelora semangat yang makantar-kantar, tapi sekaligus pembukti ukhuwah, dan penguji militansi bagi kita. Tetapi di manakah engkau saat itu? Kami tak menjumpaimu di sana.

Engkaupun berargumentasi bahwa engkau tengah sibuk dengan sejumlah agendamu. Tugas-tugas akademis menuntutmu berada dalam kejaran waktu. Engkau tak berdaya menghadapi kenyataan-kenyataan dilematis kewajiban kuliahmu yang menurutmu; tak mampu berbagi waktu dengan beban dakwahmu. Atau engkau kecewa dengan stagnasi forum yang tak bergairah, bahkan mungkin tak berbuah muntijah bagi kebutuhan-kebutuhan beban dakwah, hilang produktivitasnya, konvensional formulasinya, dan sejumlah celah catat lainnya. Lagi-lagi engkau tunjukkan kepada kami betapa berserak lemah kami dan forum itu. Untuk semua itu, kami mengucapkan terima kasih atas kritik membangunmu, dan pada saat yang sama kami pohonkan maafmu bahwa lagi-lagi kami mendzalimimu, bahkan umat ini. Tapi terus terang kami masih gelisah, karena kami belum tahu sebenarnya di manakah engkau saat itu…

Ketika gemuruh suara itu membahana, riuh riang manusia-manusia itu berjalan di bawah terik matahari, tapi tetap tersenyum dengan teriak yel berapi-api, “tolak Bush”, katanya, ”tolak gembong teroris itu”, tambahnya, dan sejumlah teriakan yang beragam membahana dengan semangat makantar-kantar, sambil terus merangsek ke depan, terus bergerak menuju ujung. Sayang sungguh sayang, lagi-lagi kami tercenung; aina anta ya jundullah? Aksi itu aksi kita bersama. Bahkan engkau mestinya menjadi garda terdepannya. Karena mestinya engkau letak keteladanan, di mana para yunior di garis perjuangan ini masih mengkiblat kepadamu. Tapi, dimanakah engkau saat itu ya syabab? Kami tak menjumpaimu di sana

Engkau bahkan masih memberi penjelas, penegas bahwa kita harus berbagi tugas. Tidak harus semua terjun ketika agenda dakwah begitu memadat. Banyak ruang kosong di sana sini yang harus terisi oleh sebaran kader yang harus terbagi. Dan engkau yang membagi sebaran itu, dan engkau yang memilih ruang lain itu. Kami tidak tahu, apakah sudah ada sekian qiyadah dalam barisan ini yang tak lagi mempunyai satu jalur instruksi. Atau mungkin atas alasan lain bahwa medan yang satu ini begitu memberat tantangan. Ketika terkadang harus berjalan panjang dalam panas terik yang membakar, atau berbasah ria dengan kebersamaan derasnya hujan yang mengguyur, atau terkadang dengan ketegangan-ketegangan ketika harus melawan aparat, merangsek, ditendang, dipukul, atau semprot gas air mata itu? Ataukah itu semua begitu menggentarkan sehingga nyali ini menjadi ciut? Kami tak tahu, atas alasan apa sebenarnya engkau tak kami jumpai di tempat itu…

Ketika instruksi para qiyadah menghendaki engkau ikut dalam medan tadrib. Di tempat penempaan Batu Seribu yang menantang itu, atau di Pantaran yang dari namanya sudah terbayang medan berat itu, atau Nglimut, atau Kedung Kayang, atau Sekipan, atau Segoro Gunung, atau Mojosemi, atau Tlogo Ndlingo. Semua nama itu begitu menggentarkan dirimu. Maka ketika kami sudah berada di garda terdepan sebagai mudarib, satu persatu kami cari di antara sekian banyak peserta itu; kami benar-benar dibuat gelisah karena kami tak menjumpaimu dalam barisan itu. Aina anta ya jundullah?

Engkau masih saja terus nyaman dengan semua jinawabmu. “kami sudah pernah ikut”, katamu. Bahkan sempat kami mendengar isyu pemboikotan itu yang entah berpangkal dari mana. Semua kembali terlontar. Sibuk akademis, sibuk rapat-rapat, sibuk dengan semua agendamu. Sebagai seorang jundi yang mempunyai qiyadah, kami tidak tahu dengan cara apa sebenarnya engkau memahami makna ketaatan.

Ingin lebih banyak kami mengurai gores luka menyayat itu, dalam berbagai kebersamaan liku jalan panjang terjal kita. Tapi cukup! Cukuplah di sini. Kami tak kuasa lagi. Menggerataki celah-celah salah kami. Menghadirkan serba gelisah resah kami. Atas semua fakta membekas luka itu. Sementara kami coba mencukupi deret peristiwa ini, tersisa satu resah bertambah kami hari ini, dalam acara ini; karena lagi-lagi kami tak menemukanmu di sini!

***

Apa yang sebenarnya terjadi? Kami mencoba merenung dalam. Banyak ternyata kami temukan rangkai peristiwa terhubung. Banyak kejadian dramatis yang memilu luka. Udara panas yang menyebarkan hawanya di atas kampus hijau ini ternyata dipicu oleh sejumlah ulah sebagian pasukan perjuangan ini, entah dalam kesadarannya atau karena kelalaiannya. Sebagian besar. Atau bahkan mungkin semua. Semua sedang melukai diri tak bersisa. Semua terlibat dalam andil suhu memanas yang mengerontangkan dahan hati, gersang jiwa ini. Kami tersadar bahwa kami merupakan bagian dari rasa sakit menyayat itu.

Marilah kita jujur melihat: fakta kebesaran jumlah kita ternyata sekadar tipu semu. Karena dalam kebesaran simbol itu kita tak berisi. Kita sungguh rapuh tak punya daya. Satu pukulan ringan, mungkin sudah cukup membuat jatuh tak berkemampuan bangkit lagi. Itulah senyatanya yang terjadi. Itulah realitasnya nasib kita hari ini.

Lihatlah lebih dalam pada masing-masing diri kita. Sadarlah segera akan hampanya temu batin dalam shalat-shalat kita menghadap-Nya. Tiada lagi nikmat indah yang berasa menyejuk itu. Kemanakah lari tilawah harian kita yang belepotan terbata-bata itu. Untuk menuntaskan target-target minimal yang menjadi standar ketangguhan ruhiyah kita tak lagi kuat kita capai. Kemanakah malam-malam hening tempat kita berdiri, ruku’, dan sujud penuh isak membasah pipi itu. Semua kini telah lenyap meninggalkan suara dengkur keras panjang menyambut fajar. Mungkin dengan alasan lelah yang sebenarnya tak seberapa itu, bahkan yang sebenarnya tak tepat sebagai kedok malas itu. Kemana juga berbagi waktu kita dengan penggalian ilmu, dengan pengasah fikir. Dengan dan dengan semua kebutuhan kita.

Kering terasa menyesak. Hampa sedemikian tak punya warna. Karena dalam semua sisa kekuatan yang telah remuk itu, terbuka lebar pintu inkhirafat fikr dan amal yang ngeri nganga. Baru kemarin terdengar berita seorang pejuang yang minta ijin undur diri dari kancah juang ini. Cuti sementara untuk memuasi hajat akademisnya yang belum seberapa menantang itu. Padahal ia tahu persis bahwa ia masih terlalu muda untuk merampungkan studi. Bahkan ia tahu persis bahwa undur dirinya itu berarti para seniornya yang tertatih membagi waktu dan pikiran semakin memberat dalam duka beban tak berpikul. Tapi ’ketegaan’ itu fakta yang terjadi.

Atau, sebelum itu seorang pejuang lain meminta ijin kepada komandannya untuk melanjutkan interaksi awal yang terlanjur berbuah simpati mendalam kepada lawan jenisnya. Dalam interaksi suci dakwah itu, dalam kebersamaan ukhuwah itu, ia tergoda untuk merubah haluan niatnya. Atau lihatlah sejumlah pejuang yang telah liar kehilangan manhaj akhlaknya; ketika para pemimpin tak lagi peka dan arif menjalankan kepemimpinannya; ketika para prajurit tak lagi memahami makna ketaatan kepada qiyadahnya; ketika para pejuang tak lagi terlihat tadzkhiyah amalnya, bersih oerientasinya, penuh istar ukhuwah persaudaraannya; itu semua fakta yang saat ini kita saksikan berserak ruah di depan mata telanjang kita. Dipertontonkan secara tragis, persis di hadapan kita. Wahai, apa gerangan yang sedang terjadi.

Gugurnya satu generasi; barangkali parade yang segera terpentaskan, mengukir sejarah perjuangan kita kali ini. Apa yang sangat menakutkan itu akan menjadi keniscayaan sebagaimana saat roda berputar tiada henti. Inilah mungkin kemestian sunnah yang telah bergaris jelas sesuai kehendak-Nya; yang kita tiada daya berbuat banyak untuk merubahnya. Tapi sungguh malang, jika kita memaksakan diri untuk menjadi bagian luka yang merobohkan kokohnya bangunan ini, hanya karena kenaifan kita, hanya karena ciutnya api perjuangan kita, hanya karena rapuhnya keyakinan, juga kepengecutan kita menjadi tumbal kebangkitan.

Para pendahulu kita telah mendendangkan sebuah syair cinta dan semangat juangnya; tentang kefahaman kita akan Islam, tentang rumitnya wilayah keikhlasan, tentang liku medan amal tuk bangun kejayaan umat, tentang jihad meninggikan kalimat ilahi, tentang ketaatan yang menuai berkah melimpah ruah, tentang tadkhiyah bukti kesetiaan, tentang tsabat menghadapi rintangan di garda terdepan perjuangan, tentang tajarrud, tentang tsiqah, juga tentang ukhuwah dalam menghimpun cinta para hamba-Nya.

Maka, jika engkau merasakan beban memberat dalam perjalanan ini, apakah engkau tidak ingat firman Allah swt., ”Wahai orang-orang beriman! Mengapa jika dikatakan kepadamu, ’Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah’, engkau merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah engkau lebih senang dengan kehidupan dunia dibanding akhirat? Sungguh kenikmatan dunia teramat kecil dibanding apa yang ada di akhirat.” [At-Taubah: 38]

***

Sayup terdengar dari kejauhan, gemuruh suara riuh senang sebuah kafilah. Terlihat wajah cerah nan sejuk bercahaya. Saling sapa dengan santun, tiada terlihat kelelahan, tiada terlihat beban menghimpit dalam wajah kasam berkerut. Mereka bersegera memenuhi panggilan, ketika Sang Pencipta telah berkehendak seperti dalam firman-Nya; ”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” [Al-Fajr: 27-30]


Tapi tampak se
orang lelaki tua dalam barisan itu. Dengan rona wajah memutih, dengan gerak tubuh gusar-cemas. Ia seperti sedang menyimpan dalam; sebuah kekhawatiran, seberkas ketakutan. Ia cermati barisan yang dibersamainya itu. Ia pandangi satu per satu wajah para pejuang itu. Ada gelisah resah yang tiba-tiba semakin membuncah. Bagai tersambar petir ketika tersadar. Dalam keterpanaan yang menyesak itu, ada desah rendah yang terlontar sangat pelan; ”Aina anta ya jundullah? Di ujung perjalanan inipun, di garis batas kehidupan fana inipun, akhirnya tak kutemukan juga kesertaanmu”.[]

Read More..